Drama jemput paksa Ketua DPR Setya Novanto sampai 5 jam di kediamannya pada Rabu (15/11/2017) malam hingga Kamis dini hari benar-benar menyedot perhatian masyarakat.
Sederet TV swasta menayangkan langsung drama penjemputan.
Jajaran petinggi KPK bersiaga penuh di markasnya.
Di Twitter heboh ribuan orang terus memantau perkembangan detik demi detik hasil penjemputan paksa sang Ketua Umum Partai Golkar tersebut.
Berikut TribunStyle.com himpun 5 fakta paling menarik drama penjemputan Setnov yang dihimpun dari berbagai sumber:
Belum Berhasil Tangkap Setnov, Tapi Bisa Amankan Dokumen Penting
Hingga drama 5 jam penjemputan Setya Novanto, yang bersangkutan tiada di rumah.
Tapi dokumen-dokumen penting berhasil disita KPK.
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) akhirnya keluar dari rumah Ketua DPR Setya Novanto sekitar pukul 02.43 WIB.
Mereka keluar setelah lima jam berada di kediaman Novanto di Jalan Wijaya XIII, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Kesepuluh penyidik keluar dengan membawa tiga tas jinjing, satu koper biru, satu koper hitam, dan satu alat elektronik yang belum diketahui fungsinya.
Saat ditanya mengenai aktivitas di dalam, mereka semua enggan menjawab dan terus berjalan menuju mobil masing-masing. Mereka pun enggan menanggapi saat ditanya wartawan ihwal barang yang dibawa di dalam tas dan koper.
Mereka meninggalkan kediaman Novanto dengan menggunakan sepuluh mobil Toyota Innova.
Rabu malam (15/11/2017), KPK menyambangi rumah Ketua DPR Setya Novanto, mereka tiba di kediaman Novanto pukul 21.40 WIB.
Petugas polisi tampak berjaga-jaga di depan pintu masuk rumah Novanto di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Seharusnya hari ini, Rabu (15/11), Novanto diperiksa di KPK namun tidak datang. Dia memilih berada di gedung DPR untuk mengikuti rapat Paripurna.
Seperti diketahui, KPK menetapkan kembali Novanto sebagai tersangka pada Jumat (10/11/2017).
Novanto sebelumnya lolos dari status tersangka dalam penetapan sebelumnya setelah memenangi gugatan praperadilan terhadap KPK.
Dalam kasus ini, Novanto bersama sejumlah pihak diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Adapun sejumlah pihak itu antara lain Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong, dan dua mantan Pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto.
Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Akibat perbuatannya bersama sejumlah pihak tersebut negara diduga dirugikan Rp 2,3 triliun pada proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
Awalnya Tidak Dibolehkan Masuk Setnov
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) akhirnya mendatangi kediaman Ketua DPR Setya Novanto, di Jalan Wijaya XIII, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (15/11/2017) malam.
Mereka tiba pukul 21.40 WIB. Ketika tiba di kediaman Novanto, para penyidik KPK tak langsung diizinkan masuk.
Para penyidik KPK menunggu di depan kediaman Novanto untuk menunggu Novanto maupun kuasa hukumnya.
Pukul 21.55 WIB, kuasa hukum Novanto, Fredrich Yunadi, keluar dari rumah kliennya dan menuju mobilnya.
Ia terlihat mengambil dokumen, kemudian masuk kembali ke rumah Novanto. Namun, Fredrich enggan menjawab saat ditanya dokumen apa yang dibawanya.
Pada hari ini, KPK melakukan pemanggilan pertama Novanto sebagai tersangka kasus e-KTP.
Namun, yang bersangkutan tak dapat memenuhi panggilan KPK dengan sejumlah alasan, salah satunya tengah mengajukan uji materi UU KPK.
Sebelumnya, Novanto telah tiga kali mangkir dari pemanggilan KPK sebagai saksi untuk tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo.
Sejauh ini, belum ada keterangan dari KPK soal tujuan kedatangan penyidiknya ke kediaman Ketua Umum Partai Golkar itu.
Trending Tagar "TangkapNovanto" di Twitter
Tanda pagar atau tagar "TangkapNovanto" menjadi trending topic pada media sosial Twitter, Kamis (15/11/2017) malam.
Hingga Pukul 23.42 WIB, tagar tersebut masih berada pada posisi teratas.
Hal ini menyusul sejumlah Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pada Kamis malam mendatangi kediaman Setya Novantodi Jalan Wijaya XIII.
Adapun Ketua DPR RI itu saat ini berstatus tersangka pada kasus korupsi proyek e-KTP.
Beberapa warganet meminta agar KPK bisa segera menangkap Novanto.
"Semoga #TangkapNovanto benar-benar terjadi dan kemudian segera tercipta proses hukum yang seadil-adilnya. Jika benar, ini satu pertanda bahwa KPK BERANI MEWUJUDKAN KEADILAN!" tulis pemilik akun @jolayjali.
"Papa dimana kau berada? Ku harap menyerahlah!!" tulis pemilik akun @zidnyfahmy_90.
Warganet lainnya mengungkapkan antusiasmenya menyaksikan siaran langsung peristiwa tersebut di televisi atau lewat media lainnya.
"Tadinya mau tidur eh baca berita SN dijemput paksa setelah beberapa kali mangkir, jadi melek deh depan TV," kata pemilik akun @salendra18.
Seperti diberitakan, penyidik KPK mendatangi kediaman Novanto di kawasan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pada hari Rabu, KPK melakukan pemanggilan pertama Novanto sebagai tersangka kasus e-KTP.
Namun, yang bersangkutan tak dapat memenuhi panggilan KPK dengan sejumlah alasan, salah satunya tengah mengajukan uji materi UU KPK.
Sebelumnya, Novanto telah tiga kali mangkir dari pemanggilan KPK sebagai saksi untuk tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo.
Komisi Pemberantasan Korupsi pun mengimbau Ketua DPR RI Setya Novanto untuk menyerahkan diri.
"Secara persuasif kami himbau SN dapat menyerahkan diri," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, saat dikonfirmasi, Rabu (15/11/2017).
Rabu Malam tim KPK mendatangi kediaman Novanto di jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Febri mengatakan, tim mendatangi kediaman Novanto karena yang bersangkutan beberapa kali tidak menghadiri pemeriksaan KPK.
"KPK mendatangi rumah SN karena sejumlah panggilan sudah dilakukan sebelumnya namun yang bersangkutan tidak menghadiri," ujar Febri.
Ketua Umum Partai Golkar itu kembali mengutarakan berbagai alasan ketidakhadiran di KPK melalui surat.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, penyidik kali ini menerima surat keterangan ketidakhadiran yang dikirimkan pengacara Setya Novanto.
"Surat dari pengacara," ujar Febri saat dikonfirmasi.
Dalam surat tersebut, pengacara Novanto, Fredrich Yunadi, mengatakan, ketidakhadiran kliennya lantaran pihaknya sedang mengajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang KPK.
Novanto sebelumnya juga tak menghadiri panggilan pemeriksaan sebagai saksi di Gedung KPK.
Namun, sebelumnya 'surat sakti' ketidakhadiran dibuat melalui Sekretariat Jenderal DPR.
Dalam surat yang menjadi senjata Novanto menghindari penyidikKPK, dia beralasan bahwa KPK harus mengantongi izin dari Presiden Joko Widodo untuk dapat memeriksa dirinya.
Alasan serupa juga digunakan Novanto pada pemanggilan sebelumnya.
Novanto dalam suratnya ke KPK menggunakan aturan mengenai Pasal 20A Huruf (3) UUD 1945 sebagai alasan mangkir.
Pasal itu mengatur hak imunitas anggota DPR.
Selain itu, Novanto juga beralasan dengan menggunakan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 mengenai Hak Anggota Dewan Huruf (h) terkait imunitas. Pasal itu dijadikan alasan mangkir dari panggilan.
Pada September 2017, Novanto juga dipanggil menjalani pemeriksaan sebagai tersangka di Gedung KPK.
Namun, pada pagi hari, istri Novanto mengirimkan surat berisi keterangan bahwa Ketua Umum Partai Golkar itu sedang sakit dan tidak dapat menghadiri panggilan penyidik KPK.
Pada hari yang sama dengan jadwal pemeriksaan, Novanto menjalani perawatan di rumah sakit.
Ia bahkan menjalani operasi di Rumah Sakit Premier Jatinegara.
Novanto sebelumnya lolos dari status tersangka dalam penetapan sebelumnya, setelah memenangi gugatan praperadilan terhadap KPK.
Dalam kasus ini, Novanto bersama sejumlah pihak diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Adapun sejumlah pihak itu antara lain Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong, dua mantan Pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto.
Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar.
Diduga akibat perbuatannya bersama sejumlah pihak tersebut, negara dirugikan Rp 2,3 triliun pada proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.
Pasal yang disangkakan terhadap Novanto yakni Pasal 2 ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Fahri Hamzah Tak Percaya Jemput Paksa dan Sebut Gila
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah terkejut dengan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi yang diduga berupaya menjemput paksa Ketua DPR Setya Novanto.
"Kalau ada yang berani jemput paksa Setya Novanto, itu pasti perintah datang dari orang kuat di negara ini, sehingga aparat kepolisian khususnya, mau saja ikut-ikutan merusak lembaga negara," kata Fahri, Rabu (15/11/2017).
Fahri mengaku sudah mendengar rumor terkait upaya penjemputan paksa Setya Novanto yang dilakukan malam ini. Namun, ia sempat tidak percaya dengan rumor tersebut.
"Saya tidak percaya bahwa kita semua sudah gila," kata Fahri.
Menurut Fahri, keterlibatan KPK dalam gerakan politik menarget Setya novanto akan menghancurkan seluruh bangunan negara hukum di Indonesia.
"Presiden Jokowi harus bertanggung jawab apabila hal itu terjadi," kata dia.
Setya Novanto sebelumnya sudah 3 kali mangkir dari panggilan KPK sebagai saksi kasus E-KTP. Lalu pada Rabu hari ini, Novanto yang diperiksa sebagai tersangka juga mangkir.
Akhirnya pada Rabu malam ini, sejumlah penyidik KPK mendatangi rumah Ketua DPR itu.
Selain itu, berdasarkan pantauan Kompas.com, sejumlah petugas kepolisian juga terlihat berjaga. Bahkan, ada aparat kepolisian yang membawa senapan laras panjang yang berjaga.
Lebih Tegas JK DIbanding Jokowi Terkait Setnov
Aktivis Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo menilai Presiden Joko Widodo belum menunjukkan ketegasan dalam agenda pemberantasan korupsi, khususnya terkait kasus korupsi e-KTP yang menjerat Ketua DPR Setya Novanto. Bahkan ketegasan Jokowi dinilai kalah dari Wakil Presiden Jusuf Kalla.
"Yang sebenarnya lebih tegas itu kan Pak JK dalam kasus (Setya Novanto) ini," kata Adnan di Jakarta, Rabu (15/11/2017).
Adnan mengatakan, sejak awal Novanto sudah jelas-jelas menjadikan Jokowi sebagai tameng dalam menghadapi kasus E-KTP ini. Misalnya, Novanto menolak diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi sebelum lembaga antirasuah itu mengantongi izin Presiden.
Namun, Adnan menyesalkan pernyataan Jokowi yang tidak tegas menyikapi manuver Novanto ini.
Jokowi justru hanya menyerahkan segala proses hukum tersebut kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Harusnya, lanjut Adnan, Jokowi bisa menyatakan dengan tegas bahwa KPK bisa atau tidak mengantongi izin Presiden untuk memeriksa anggota DPR. Presiden juga bisa meminta pandangan pakar hukum terlebih dahulu untuk menguji argumen Setya Novanto.
"Kalau ahli hukum mengatakan (argumen Novanto) tidak tepat, ya Presiden mengatakan 'tidak perlu izin. Oleh karena itu, jangan jadikan saya sebagai bemper' sehingga tidak kemudian dimanfaatkan," ucap Adnan.
Adnan menilai, Wapres Jusuf Kalla justru mengeluarkan pernyataan yang lebih tegas mengenai manuver Novanto ini. Kalla sejak awal menegaskan bahwa KPK tidak perlu mengantongi izin presiden untuk memeriksa anggota DPR.
"Jauh-jauh hari Pak JK bilang tidak harus ada izin dari Presiden dan alasannya saya kira sudah tepat," kata Adnan.
Adnan pun menilai, sikap Presiden yang tidak tegas ini karena pertimbangan faktor politik, yakni terkait posisi Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Partai Golkar adalah bagian dari koalisi pemerintah saat ini dan sudah menyatakan dukungan ke Jokowi untuk pemilu 2019.
Jokowi sebelumnya merespons alasan Novanto yang menolak memenuhi panggilan pemeriksaan di KPK karena tak ada izin Presiden. Jokowi menyerahkan segala proses hukum tersebut kepada tata acara yang berlaku.
"Buka undang-undangnya semua. Buka undang-undangnya. Aturan mainnya seperti apa, disitulah diikuti," ujar Jokowi sebagaimana dikutip dari siaran pers resmi Istana, Rabu (15/11/2017).
Pasal 245 Ayat 1 Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang sudah diuji materi Mahkamah Konstitusi memang mensyaratkan pemeriksaan anggota DPR harus seizin presiden.
Namun, Pasal 245 Ayat 3 menyatakan bahwa ketentuan Ayat 1 tidak berlaku apabila anggota DPR melakukan tindak pidana khusus, termasuk korupsi.
Pakar hukum tata negara Mahfud MD mengatakan, berdasarkan aturan tersebut, artinya penyidik KPK tidak perlu meminta izin Presiden terlebih dahulu jika ingin memeriksa Novanto.( Tribunnews.com)